Cerpen: JANIN (Okky Madasari)
JANIN*
(Okky Madasari)
Perempuan itu melolong panjang. Keras dan buas. Ia kesakitan.
Ketika lolongan berhenti, aku masih merasakan sisa getaran yang dihasilkan suara itu. Mengguncang tubuhku, membuatku terpelanting ke kanan, lalu ke kiri. Kakiku menendang dinding-dinding yang mengelilingiku. Kepalantanganku me- ninju apa saja yang ada di depanku. Gerakanku membuatnya semakin kesakitan. Lagi-lagi perempuan itu melolong. Lebih keras, lebih lama, danaku semakin meringkuk di sudut ruangan. Membenamkandiri dalam lekukan, enggan keluar.
Perempuan itu ibuku. Tak pernah aku tahu seperti apa wajahnya, apa warna kulit dan rambutnya, bagaimana bentuk hidungnya. Aku hanya mengenal suaranya. Aku bisa men- dengar dengan baik dari dalam sini semua hal yang dikata- kannya, entah sambil berbisik atau berteriak. Setiap percakap- annya dengan orang lain, baik yang penuh canda dan kasih maupun yang penuh marah dan benci. Kadang aku juga mengenalnya lewat sentuhan. Saat ia sedang berbaik hati mengelus perutnya, sehingga aku bisa merasakan belaiannya. Tapi itu jarang sekali terjadi. Membuatku selalu berpikir yang sedang membelaiku saat itu bukanlah dia, tapi malaikat yang sedang mengunjungiku melalui tubuhnya.
Sembilan bulan sembilan hari. Sepanjang waktu itu aku selalu menyesali keberadaanku disini. Sejak aku masih berupa titik terkecil yang melekat begitu saja di dinding- dinding ini. Saat itu aku sudah bisa merasakan ruangan ini tidak disiapkan untuk kehadiranku. Pengap, pekat, energi- energi yang selalu berwarna gelap. Sangat berbeda dengan cerita-cerita yang kudengar sebelumnya, tentang tempat paling nyaman yang menjadi jembatan pengembaraan hidup selanjut- nya. Tempat yang menjadi tujuan pertama, ketika roh-roh seperti aku dilepaskan dari tidur panjang, menuju pembebasan, menjadi bagian dari dunia. Mereka bilang tempat itu akan selalu dikelilingi sinar-sinar jingga, jelmaan kasih dan doa. Mereka bilang aku akan menjadi yang istimewa, hadir dari panggilan cinta dua manusia. Aku akan senantiasa dirindukan dandinantikan untuk segera menjadi bagian dari mereka. Ternyata semua tak kudapatkan di sini. Udara yang aku hirup adalah racun, minuman yang aku teguk adalah limbah, dan yang bisa kumakanhanyalah sampah. Suara yang aku dengar adalah maki, doa untukku adalah sesal, belaian bagiku adalah guncangan-guncangan kasar.
Pada minggu kedua belas aku berada di sini, dinding- dinding itu seperti mau runtuh. Guncangan-guncangan keras terus menggoyang. Sepanjang hari, dari pagi hingga pagi lagi, selama berhari-hari. Aku sekuat tenaga bertahan, mencengkeram dinding itu erat, menahan agar diriku tak jatuh. Aku tak tahu bahwa memang itu yang diinginkan ibuku saat itu. Agar akujatuh, luruh, lalu mengalir deras lewat liang-liang yang dalam, yang entah ke mana muaranya. Untuk itulah ia meng- guncang tubuhnya sendiri. Berlari, melompat, diurut dan dipuntir dengan kedua tangannya sendiri.
Setelah tiga hari, guncangan itu berhenti. Ia menangis. Sekejap, untuk pertama kalinya, aku kasihan padanya. Ia sendiri, ketakutan, tanpa pertolongan. Aku pun bertanya-tanya di mana bapakku. Siapa pemilik kecebong-kecebong kecil yang masuk ke telur ibuku? Dengan siapa ibuku menyatukan diri, hingga menghasilkan letupan dahsyat yang bisa memanggilku? Ke mana dia? Kenapa tak pernah kudengar suaranya?
Pagi hari pada minggu kelima belas, aku terbangun dari tidur oleh suara teriakan. Seorang laki-laki bersuara besar sedang memakiibuku. Aku tahu itu suara siapa. Setiap hari aku mendengarnya. Ia ayah ibuku. Kakekku. Otakku yang terus tumbuh mulai bisa berpikir dengan baik. Aku bisa mengolah setiap kata yang aku dengar, merangkainya satu-satu menjadi cerita utuh. Ibuku tak pernah menginginkan aku. Aku hadir di sini dari peleburan tubuhnya dengan ke- kasihnya, yang sama-sama masih mahasiswa. Entah ke mana laki-laki itu sekarang. Ibuku sendiri tak tahu. Ia tak bisa menjawab setiap pertanyaan kakekku tentang laki-laki yang menghamilinya. Semua disembunyikan dari orangtuanya. Tak disadarinya, ibunya yang tak lain adalah nenekku memperhatikan semuanya. Ia tahu ada perubahan di tubuh anak perempu- annya. Ia merasakan ada yang berbeda dalam tingkah laku anaknya itu.
Pagi itu di depan orangtuanya, ibuku mengakui semuanya. Kakekku tak bisa menerima semuanya. Rasa marah dan malu lebih kuat dibanding kasihnya pada anak. Ibuku yang merana tak kuasa dirundung caci dan tanya. Ia pergi dari rumah dengan akubersamanya. Bukan karena ia menginginkanku, melainkan karena ia tak tahu lagi bagaimana caranya meluruhkanku.
Langkah kaki membawanya ke kafe tempat ia biasa menghabiskan waktu selama ini. Tempat yang juga mempertemukannya dengan laki-laki yang menghamilinya. Tak terpikirkan apa yang akan dilakukannya. Yang ia tahu, hanya di tempat itulah iabisa aman dari kejaran rasa bersalah atas kemarahan orang tuanya. Dia hanya sedang menunda waktu. Masih belum tahu ke manaharus pergi setelah minggat dari rumah.
Puluhan batang rokok diisap ibuku, memenuhi ruanganku dengan asap beracun yang terhirup dalam tiap tarikan napasnya. Membuat dadaku sesak, mengubah ruanganku jadi pengap.
Orang-orang di kafe itu banyak yang mengenalnya. Santi, begitu mereka menyapa ibuku. Datang ke meja bergantian, mengobrol, tertawa, bertukar minuman sambil terus mengepulkan asap. Ibuku pandai sekali bersandiwara. Ia sembunyikan kekalutan dan kebingungannya. Ia lupakanpertengkaran dengan orangtuanya. Ia benamkanperutnya, disimpan dalam baju longgar berwarnahitam. Aku pun tahu diri. Menyusutkan tubuhku dalam sudut terdalam.
Malam itu aku mengapung dalam lautan bir berwarna hitam. Aku haus. Tak bisa bertahan untuk tak meneguk apa yang ada. Hausku hilang. Tapi kepalaku pening, mual tak tertahan. Aku jadi blingsatan, bergerak ke sana kemari, menendang-nendang ibuku. Hingga dia muntah, mengeluarkan semua minuman dan makanan yang sudah ada di perutnya. Meninggalkan aku dalam kelaparan, hanya ditemani asap yang takpernah putus diisapnya.
Aku tersentak, saat tiba-tiba sebuah daging asing muncul dari liang itu, bermain-main di ruanganku. Daging panjang itu menjelajah tiap sudut ruang, membentur dan menggesek. Aku terpelanting, aku terdorong, aku kesakitan, aku terluka. Darah keluar dari tubuhku. Membasahi seluruh dinding. Lalu mengalir keluar bersamaan dengan keluarnya daging itu. Aku mendengar ibuku berteriak kesakitan. Tapi kemudian aku rasakan ia girang. Ia pikir, darah itu adalah kematianku. Tapi ia salah. Aku pun heran. Kenapa aku bisa sedemikian kuat? Bukankah seharusnya aku sudah sekarat?
Malam itu jadi awal untuk malam-malam selanjutnya. Ibuku mengulang kembalisemuanya. Duduk di kafe, mengisap asap, minum sampai mabuk, lalu masuk kamar dengan siapa pun yang mau tidur dengannya: orang-orang yang tak peduli dengan perut ibuku yang membuncit. Ibuku menjadikan itu sebagai kesenangan, penghiburan, cara dia agar tetap bisa makan tanpa bingung cari tempat tinggal, sekaligus diam-diam menyimpan harapan agar aku luruh, musnah, bersamaan dengan nikmat dan sakit yang ia rasakan. Tapi ia tak pernah mendapatkan yang ia inginkan. Aku tetap menempel kuat di dinding ini. Meskipun sebenarnya aku juga ingin meluruhkan diri. Ingin aku berpisah dari tubuhnya, tak lagi bergantung pada setiap hal yang dilakukannya. Entah kenapa, aku tak kuasa melawan tarikan dinding itu. Setiap kali aku sengaja membiarkan tubuhku hanyut ke liang itu, dinding-dinding itu mengisapku, lalu kembali mengikat dan mencengkeramku.
Hari ini, sembilan bulan sembilan hari. Cukuplah semua. Biarlah aku menyusuri liang itu dalam wujudku yang telah sempurna. Bukan untuk menjumpainya. Tapi untuk lebur dalamsemesta. (*)
----------------------------------------------------------
*Cerpen tersebut diambil dari buku kumpulan cerita pendek Okky Madasari: Yang Bertahan dan Binasa Perlahan, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2017. Ada 19 cerpen di dalam buku tersebut. Penasaran dengan cerpen-cerpen lainnya? Silakan membeli bukunya