Cerpen: Tiga Surat Cinta yang Belum Terkirim (M. AAN MANSYUR)
1.
SURAT ini sedianya aku tulis bertahun-tahun lalu. Waktu itu aku terlalu malu dan merasa bersalah sehingga tidak menuliskannya. Setiap kali bertemu, meskipunjarang sekali, aku ingin menceritakan kisah ini, tapi aku selalu urung melakukannya. Rasa malu dan rasa bersalah ternyata seperti pohon jika disimpan. Mereka akan tambah tumbuh dan kian susah dicabut. Kini rasa bersalah itu selebat hutan.
Kau masih berada disekolah kala itu. Aku diserang meriang dan pura-pura tidur ketika Mama datang dari pasar. Aku mendengar dari dapur dia berusaha menyembunyikan tangis. Tetapi ketika aku mendengar ada piring jatuh dan pecah, dia tidak bisa menahan tangisnya. Dia kelelahan dan merindukan Ayah. Aku kira, seperti biasa, dia mendengar orang-orang di pasar bercerita lagi perihal statusnya: janda tergantung. Perempuan sial yang ditinggalkan suaminya yang tidak pulang-pulang.
Aku tahu Mama mencintai Ayah, seperti dia mencintai kita. Tetapi, siang itu, aku sangat membenci Ayah.
Besoknya, ketika kau berangkat ke sekolah dan Mama ke pasar lagimembawa sayur jugabumbu-bumbu dapur jualannya,aku membongkar semua laci di rumah. Aku menemukan kunci lemari Mama di bawah bantalnya. Aku mengeluarkan semua foto Ayah dari bawah lipatan pakaian Mama. Aku mengambil semua foto Ayah dari lacimeja belajarmu. Aku melepaskan semua wajahnya dari album foto keluarga. Aku tidak menyisakan sehelai pun foto. Aku merobek semuanyamenjadi serpihan-serpihan kecil sambil menangis—lalu menyembunyikannya di sebuah kardus kecil di bawah tempat tidurku.
Aku baru ingat peristiwa itu lagi lima tahun kemudian. Waktu itu aku sudah kuliah di Makassar. Hari itu menjelang Lebaran, aku pulang kampung, seperti biasa. Aku tiba-tiba ingin menulis puisi tentang pohon belimbing di belakang rumah kita yang sedang berbuah lebat. Aku mencari bolpoin di kamarmu. Aku membongkar meja belajarmu dan kaget menemukan lembaran-lembaran foto Ayah telah tersusun kembali, semuanya, meski tidak sempurna. Kau ternyata sudah bersusah payah mengembalikan wajah-wajah Ayah.
Alangkah malu aku. Alangkah merasa bersalah aku telah membuat kau melakukan semua itu. Aku tahu kamu sangat dekat dan mencintai Ayah. Aku tahu, aku telah melakukan kesalahan besar. Aku membayangkan kau menangis ketika berusaha menyatukan potongan-potongan kecil itu menjadi Ayah, menjadi foto yang selalu kaupandangi dan peluk sebelum tidur.
Jikakau membaca surat ini, kumohon, maafkankebodohan kakakmu ini. Sungguh, sembuhkanlah rasa bersalah dan maluku yang kian besar.
Salam kenal buat calon istrimu. Jadilah ayah yang tidak akan dirobek fotonyaoleh anak-anaknya. Aku mencintaimu.
2.
KEMARIN aku baca distatus Facebook-mu, anak bungsumu—yang kaubilang senyumnya selalu mengingatkanmu pada senyumku itu—sakit. Berapa hari tepatnya usia dia sekarang? Semoga dia lekas pulih. Kakaknya yang pandai bergaya di depan kamera itu pasti ingin punya teman bermain lagi.
Tadi siang aku makan di warung tempat kita dulu sering makan. Pelayan yang senang menggoda kita tidak bekerja lagi di sana. Kata temannya, sebulan sebelum menikah, dia berhenti bekerja. Kau masih ingat namanya? Aku mengabadikan namanyadi salah satu cerita pendek, seperti saranmu. Dia jadi tokoh utama dalam cerita pendekku yang dimuat satu majalah wanita dua bulan lalu.
Sebagaimana kenangan, warung itu tidak banyak berubah, Kukila. Lukisan air terjun di dinding sebelah kiri, tempat kita sering duduk menyantap makan malam, masih ada. Poster besar Nike Ardilla, penyanyi favorit pemilik warung itu, juga masih ada di posisinya yang dulu. Menunya masih sama. Tidak ada makanan baru dijual di sana. Pelayannya masih tersenyum ketika meletakkan piring berisi nasi campur dengan sepasang irisan ketimun dan tomat di tepinya.
Karena irisan tomat dan ketimun itulah tiba-tiba ter- pikir olehku menulissurat ini. Kau pasti masih ingat kebiasaan kita dulu. Sesaat seusai mengucapkan terima kasih kepada pelayan, kau dengan cepat memindahkan irisan tomat dari piringmu ke piringku. Tentu saja, aku akan membayarnya dengan memindahkan irisan ke- timunku ke piringmu. Tadi siang, aku makan sendiri. Aku menggigit irisan ketimun sambil mengingat cara kau menggigitnya.
Apakah suamimu juga suka tomat, Kukila? Betapa beruntung siapa pun dia yang pernah mencicipi betapa enak jus tomat bikinanmu.Ada 135 gelas jus tomat yang pernah kaubikinkan buatku selama 6 tahun 7 bulan 5 hari kita pacaran. Aku ingat persis jumlahnya.
Aku menulis di catatan harian setiap usai meminum jus tomat bikinanmu. Jus tomat terakhirkaubikin seminggu sebelum cincin laki-laki pilihan ayahmu itu melingkar di jari manismu. Aku belum pernah mengatakannya: itulah jus tomat paling enak yang pernah aku minum!
Oh, iya, di warung kesukaankita itu, Kukila, kita pernah bertemunyaris seratus orang bisu. Kau ingat? Mereka melakukanpenggalangan dana. Malam itu, warung itu betapa senyap. Cuma kita dan para pelayan yang menggunakan kata-kata. Pengunjung lain bicara menggunakan jari dan mata mereka. Kau berbisik, ”Alangkah puitis peristiwa ini.”
Aku mau memberitahumu, peristiwa yang kausebut puitis itulah yang membuat aku menulis satu puisi tepat pada malam pernikahanmu. Aku menulis puisi itu di Biblioholic, kafe baca yang kita bikin berdua, tempat yang selalu kausebut anak kita. Puisi sederhana itumemenangkan lomba menulis puisi cinta. Puisi itu me- ngalahkan lebih dari enam ribu judul puisi cinta lain dari berbagai penyair Indonesia. Separuh hadiahnya, tanpa pernah kau tahu, aku gunakan untuk membeli novel-novel kesukaanmu dan kusimpan di Biblioholic. Separuhnya lagi aku kirim kepada Mama yang selalu menanyakan kabarmu.
Aku ingin sekali, suatu kali, bisa membacakan puisi itu di hadapanmu. Aku ingat kebiasaanmu memintaku membacakan puisi sebelum tidur. Aku ingat, ketika aku inginsekali dipeluk dan dicium, aku memaksamu mendengarku membaca puisi. Kau selalu memberiku hadiah pelukan dan kecupan seusai membaca puisi, seburuk apa pun puisi itu. Haha.
Aku ingin menuliskan puisi cinta sederhana tentang orang bisu itu di surat ini. Jika kau mau, aku mau kamu membacakan puisi ini kepada anak bungsumu yang sedang sakit. Kakak dan ayahnya boleh ikut mendengar, jika mereka mau. Tentu saja, itu akan lebih baik lagi.
Sajakbuat Istriyang Buta dari Suaminya yang Tuli
Maksud sajak ini sungguh sederhana. Hanya ingin memberitahumu bahwa baju yang kita kenakan saat duduk di pelaminan warnanya hijau daun pisang muda, tetapi yang membungkus kuekue pengantin adalah daun pisang tua. Memang keduanya hijau, tetapi hijau yang berbeda, Sayang.
Di kepalamu ada bando berhias bunga, kau merasakannya tetapi mungkin tidak tahu bunga bunga itu adalah melati putih. Sementara di kepalaku bertengger sepasang burung merpati, juga berwarna putih.
Aku selalu membayangkan, hari itu, kita seperti sepasang pohon di musim semi. Kau pohon penuh kembang. Aku pohon yang ditempati burung merpati bersarang.
Aku lihat, orangorang datang dan tersenyum. Mereka berbincang sambil menyantap makanan. Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan. Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?
Terima kasih mau membaca surat ini—dan puisi sederhana itu. Pelukrindu dari yang selalu kausebut pohon.
3.
”Mama, saya ingin punya celanapanjang dan majalah Bobo. Kalautidakbisa beli yang baru, yang bekas juga saya terima.”
Kau ingat surat berisi permintaan bodoh yang aku letakkan dibantalmu itu? Aku berpikir selama berhari-hari sebelum berani menuliskannya. Kau membalasnya dengan permohonan maaf, cuma mampu membeli majalah Bobo. Uangmu tidak cukup untuk membeli celana panjang. Kau tahu, waktu ituaku inginsekali punya celana panjang seperti teman-temanku. Seorang anak kelas tiga Sekolah Dasar yang belum punya sehelai pun celana panjang adalah lelucon bagi teman-temannya. Tetapi aku menyesal telah mengirim surat itu. Hari itu aku tahu bahwa ada keinginan yang harus aku relakan mendekam di dada saja—atau keinginanitu melukai orang lain, lalu berbalik melukaikulebih dalam.
Aku selalumengenang masa-masa ketika kita seperti orang asing satu sama lain. Kamar kita cuma dipisahkan dinding tipis, tetapi aku harus mengirim surat ketika hendak mengatakan sesuatu. Ketika kau berangkat ke pasar membawa jualan-jualanmu yang tidak seberapa itu, aku akan diam-diam meletakkan suratku di bantalmu. Besok harinya, kau akan meletakkan surat balasan di tempat tidurku. Tulisanmu selalu lebih rapi. Aku heran, kenapa kau mau ikut hidup dalam permainanku tanpa pernah mengeluh. Kau tahu, alangkah pemalu anakmu.
Masa kecil aneh itu hadiah bagiku, Mama. Aku pikir, kebiasaan menulis surat kepadamu dan siapa pun yang tidak mampu kutatap matanya ketika bicara telah melatih aku menulis. Kemampuanku menulis hari ini buah dari surat-surat masa kecilku. Kau pasti ingat bagaimana anakmu ini lebih memilih beliprangko daripada beli gula-gula. Kau juga pasti ingat, aku rela jadi penjual kantong plastik di pasar dekat penjual ikan dan penjual kacang goreng di sekolah agar bisa punya uang untuk membalas surat-surat sahabat penaku.
Kau tahu kebiasaanku menulis surat tidak sembuh ketika aku menginjak masa remaja. Kau pasti ingat ketika aku pertama kali punya pacar—adik kelasku yang ternyata anak teman sekolahmu. Aku dan dia bertukar surat setiap pagi, kecuali hari libur dan Minggu, didepan perpustakaan, sebelum kami digiring bel sekolah masuk ke kelas masing-masing. Kau tertawa ketika membaca kisah itu di novelku. Aku menyatakan cinta kepadanya juga lewat surat, Mama. Aku menulis surat di salah satu halaman buku catatannya. Hahaha. Sekarang dia sudah punya dua anak. Terakhir aku bertemu dia di toko buku. Dia memberiku satu buku tebal, biograi seorang terkenal dan kaya yang meninggal karena penyakit yang dia rahasiakan selama hidupnya.
Waktu kuliah,aku juga punya kebiasaan saling berkirim surat dengan Kukila, mantan pacarku yang paling dekat denganmu itu. Aku membeli buku tebal bersampul biru—kami sama-sama menyukaiwarna itu. Di halaman pertama, aku menulis surat cinta kepadanya. Besok harinya, aku meminta dia membalasnya di halaman berikutnya. Keesokan harinya lagi, aku membalas surat di halaman setelah suratnya. Begitu seterusnya, hingga buku tebal itu penuh surat, hingga kami memutuskan mengakhiri hubungan karena dia pindah ke Jakarta dan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya. Hahaha. Dia juga sudah punya dua anak. Dia masih sering mengirim surat lewat Facebook dan tidak pernah lupa menanyakan kabarmu.
Mengirim surat kepadamu dan kepada pacar, bukan hal aneh lagi bagimu. Tetapi, kau pernah menyebutku gila ketika pertama menerima surat yang aku kirim kepada diri sendiri. Aku berada di Jakarta waktu itu. Aku mengirim catatan perjalananku ke rumah kita di Balikpapan. Tetapi akhirnya kau paham, anakmu ini memang gila, setiap berkunjung ke kota mana pun selalu mengirimkan catatan perjalanannya dalam bentuk surat ke rumah. Aku jarang pulang ke rumah, dan surat-suratku sendiri adalah kejutanbagiku setiap pulang ke Balikpapan. Kau pernah mengatakan, pandai-pandailah memberikan kejutan kepada hidupmu sendiri.
Aku juga punya setumpuk surat yang tidak pernah aku kirim kepada orang yang seharusnya membaca surat-surat itu. Ya, sejak kecil aku sering menulis surat kepada Ayah. Surat pertamaku kepada Ayah tentang celana panjang. Sebelum berangkat, dia berjanji akan membawa pulang oleh-oleh celana panjang untukku. Dia tidak mungkin lagi menepati janjinya. Aku tidak pernah mendengar dan membaca ada penjual celana panjang di alam kubur sana. Hahaha. Jika pun ada, dia pasti tidak tahu harus membeli celana panjang nomor berapa untukku. Waktu 26 tahun di entah di mana pasti membuatnya kesusahan membayangkan perawakan anaknya.
Soal celana panjang itu, aku pernah mengirim surat kepada Nenek. Aku ingat, dia membuatku menangis karena membelikan celana panjang untukku.Waktu itu menjelang Lebaran. Aku masuk kamar dan memeluk celana panjang itu sambil membayangkan memeluk Ayah. Aku lalu menulis surat buat Nenek untuk berterima kasih. Aku lupa, Nenek cuma melek membaca aksara Arab dan Bugis.Aku harus membacakan surat itu sendiri. Itu surat pertama yang aku baca di depan orang yang kukirimi surat.
Mama, bersama beberapasahabat di internet yang sebagian besar belum pernah kulihatsecara langsung wajahnya, aku membuat satu proyek sederhana bernama ”30 Hari Menulis Surat Cinta”. Setiap hari ada ratusan orang menulis surat cinta. Setiap hari aku membaca surat cinta mereka. Itulah kenapa aku menulis surat berisi cerita tentang surat-surat ini. Setiap aku membaca surat cinta, aku tidak bisa tidak mengingatmu. Bagiku, Mama adalah surat cinta yang tidak berhenti dikirimkan kepadaku. Aku berharap bisa jadi surat cinta balasan bagi Mama, meskipun aku tahu balasanku tidak akan pernah mampu setimpal.
Terima kasih, Mama. Aku mencintaimu (*)
*Cerpen tersebut diambil dari buku kumpulan cerita pendek M. Aan Mansyur: KUKILA, terbitan Gramedia Pustaka Utama (GPU), 2015. Ada 17 cerpen di dalam buku tersebut. Penasaran dengan cerpen-cerpen lainnya? Silakan membeli bukunya.