Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Renovasi dalam Cerpen


Renovasi dalam Cerpen
(Afrizal Malna)






Aku sedang mencari nama untuk tiga tokoh dalam cerpen ini. Apakah nama Jawa, Cina, Arab, Barat atau India? Ketiga tokoh itu orang-orang Indonesia. Yang satu sudah cukup lama tinggal di Bremen. Satunya juga sudah lama tinggal di Berlin. Sisanya baru tiga minggu tinggal di Berlin.

“Panggil saja aku S,” kata salah satu di antara mereka.

Tiba-tiba satu di antara mereka memutuskan sendiri nama untuknya. Aku mulai terganggu dengan kenyataan ini, bagaimana tokoh dalam cerpen yang kutulis ini, menentukan sendiri namanya.

“Aku D,” kata yang lain.
“Dan aku A saja,” kata sisanya.  

Mereka betul-betul kurang ajar. Kata sisanya, setelah A memutuskan namanya sendiri, cukup membuatku cemas. Kata itu sudah menyiratkan kesulitan untuk mengatur tiga orang tokoh di antara dua orang tokoh dan di antara satu orang tokoh dalam tiga orang tokoh.

“Apa kamu sedang belajar menulis cerpen?” tiba-tiba S bertanya.
“Setiap aku menulis cerpen, aku memang seperti baru belajar lagi menulis cerpen,” jawab A.

Mereka kian jelas memperlihatkan kecemasanku untuk menata mereka dalam cerpen ini. Aku tidak yakin apa aku bisa menata mereka, seperti aku menata kalimat. Aku tidak yakin. Aku selalu curiga bahwa mereka bukan materi untuk kalimat-kalimatku. Mereka tidak nyata, tapi mereka hidup entah di alam seperti apa. Mereka membuat bahasa menjadi sebuah bayangan dunia yang lain.

Yang paling aku cemaskan adalah bagaimana mereka saling tertukar satu sama lainnya, dan hanya menghasilkan satu kesimpulan: ketiga orang itu sesungguhnya hanyalah satu orang. Dialog-dialog mereka kemudian tidak lebih usaha membagi-bagi kalimat-kalimat agar tidak membuat satu lorong yang sama. Bagaimana membuat mereka menjadi tiga orang dan bagaimana ketiga orang ini menjadi satu orang?

Mereka sedang berkumpul di apartemen A, di Waldstrasse, Moabit. Menghabiskan dua botol bir. S yang lahir di Malang, kemudian tinggal di Bali, kemudian tinggal di Berlin, mulai memetik gitarnya. Lelaki berambut kriting dengan jenggotnya yang mulai dihiasi warna putih itu, menyanyikan lagu ciptaannya yang bernada gembira, reggae. Entah kenapa, nada gembira itu seperti topeng untuk menyembunyikan kesedihan yang tidak bisa dihapus lagi. Sekarang S bekerja di sebuah lembaga panti jompo dengan gaji 750 Euro setiap bulan. Gaji yang cukup untuk hidup sederhana di Berlin.

Nyanyian itu seperti sebuah kenangan. Aku tidak tahu kenangan apa? Seperti kenangan tentang dunia atau waktu yang telah hilang. Bukankah hampir setiap lagu adalah kenangan akan sesuatu yang telah hilang, yang terlah berlalu. Tetapi S juga membuat lukisan. Aku pernah melihat karya-karyanya, tertumpuk seperti barang-barang bekas di apartemennya yang kecil. Lukisan-lukisan yang juga memperlihatkan kegembiraan di antara kesedihan, keliaran, kemarahan dan mungkin juga tentang sesuatu yang nihilistis. Aku hanya menduga-duga di antara deru kereta yang masih berlintasan dalam benakku.

D menahan ketawanya setiap melihat S melakukan sesuatu, bernyanyi, memasak atau bercerita. Cerita-ceritanya khas datang dari dunia yang tidak memiliki rumah. Cerita dari anak jalanan. Cerita seseorang yang tidak bisa dilembagakan di dalam rumah.

Mereka bertiga meninggalkan Waldstrasse, ke stasiun kereta yang akan membawa mereka ke Friedrichstrasse. Mereka akan melihat lukisan-lukisan surealis, koleksi Papyrus, di Agyptisches Museum. Aku tidak tahu, apakah mereka adalah orang asing di sini, di Berlin? Apakah artinya orang asing di masa kini? Kita bisa menjadi orang asing di rumah kita sendiri, bukan? Kecemasan kembali muncul, seperti virus menyebar, setiap aku bersinggungan dengan kata “asing”. Kata yang telah menumpahkan banyak darah dan kesedihan yang tidak terhapuskan.

Aku memandangi mereka bertiga dalam kereta. Kereta yang seluruh kaca jendelanya dilapisi stiker-stiker gotik.

“Sudah sampai dimana cerpen yang kamu tulis?” tanya D.

S tertawa. Aku diam. Aku tidak tahu siapa sebenarnya yang akan menentukan cerpen ini, mereka atau aku? Pertanyaan itu membuatku seperti sebuah koper kosong yang aku bawa kemana-mana. Dan tidak pernah tahu, apa yang harus diisi ke dalam koper itu? Apakah setiap koper kosong harus diisi atau kita memang sama sekali tidak memerlukan koper?

D dan S memiliki kesamaan saat mereka memasak. Bangsa-bangsa akan berlintas dalam masakan mereka melalui bumbu-bumbu dan racikan mereka. Bau bumbu yang tidak bisa dipotret dan dimuseumkan. Bau bumbu yang membuat orang teringat pada ibu dan anaknya, bepergian jauh tanpa kereta atau pesawat. D bekerja macam-macam, dari membuat festival puisi, film dokumenter atau bekerja di restoran. Tubuhnya kecil, tetapi dia bisa memanggul sebuah koper besar, naik ke apartemen lantai 3.

Mereka turun di Friedrichstrasse, berjalan kaki menuju Bodestrasse, tempat museum yang menyimpan karya-karya surealis itu berada. Keluar dari stasiun, aku ingatkan bahwa mereka harus belok ke kiri. Nanti cerpen ini akan tersesat. Tapi mereka ngotot harus belok ke kanan. Jelas sudah, bahwa cerpen ini memang mereka yang menentukan, bukan aku yang menulisnya.

S berjalan dengan kaki kirinya yang agak pincang. Mungkin kena asam urat. Beberapa kali harus berhenti, dan memijit-mijit dengkulnya, seperti membereskan baut dan mur yang mulai longgar pada dengkul kakinya.

“Kita memang sudah tua,” A menepuk-nepuk bahu S. D tertawa. Matanya menjadi sedikit lebih sipit saat D tertawa. Mata seperti campuran antara darah Jawa, Arab dan Cina. Campuran yang luar biasa, menggetarkan. DNA-DNA yang terus mencari kuilnya untuk bisa bersatu. Mata A juga sedikit lebih sipit saat dia tersenyum. A selalu seperti seseorang yang berusaha bersahabat, tetapi sebenarnya dia tidak bisa berteman. Dia seorang yang terlalu jauh berada di dalam. Setiap dia berusaha keluar, dunia di luarnya seperti mendorongnya kembali masuk ke dalam.

Sudah setengah jam lebih mereka berjalan, Bodestrasse tetap belum terlihat. Mereka memang telah tersesat cukup jauh. Untuk belok lagi ke kiri, Bodestrasse menjadi semakin jauh. Akhirnya mereka naik bis ke museum itu. Memang cukup jauh untuk berjalan kaki. Ketika bis berhenti, gerimis sudah turun bersama angin dingin Berlin yang khas.

Mereka tidak segera masuk ke dalam stasiun. Meneduh dulu di kafe, depan museum, sambil minum kopi. A mulai membayangkan, ini pertama kalinya dia melihat karya-karya surealis dalam jumlah yang banyak: Odilon Redon, Alfred Kubin, Henri Rousseau, Carlo Carra, Max Ernst. Hans Ballmer, Paul Klee, Salvador Dali, Wols, Andre Masson Chstian D’Orgeix, Georges Hugnet, Paul Eluard, Fernand Lager, Orcar Dominguez, Jean Dubuffet, Louis Sountter, Wolfgang Pelen, Gerhard Altenbourg, Mark Tobey, Frantisek Kupka, Pablo Picasso, Max Klinger, Edouard Manet, Renen Magritte. Karya-karya dari tahun 1890 sampai 1979. Termasuk karya Giovanni B. Piranesi (tahun 1760), dan James Ensor (tahun 1896).

Nama-nama mereka sudah seperti mantra di antara gema besar dari grafiti yang tertulis rapi dalam salah satu dinding museum: DOGMA: I AM GOD. Aku tidak tahu, kenapa genre itu terus bertahan hampir sepanjang dua abad lebih. Satu cara melihat realitas dengan mendistraksi realitas itu. Seakan-akan mereka meletakkan mata di dalam, dan melihat dari dalam. Bukan melihat dari luar. Mereka menolak realitas sebagai lembaga yang menentukan konstruksi dan alur kemana kita harus pergi dan kembali.

Aku lihat S sudah tidak bisa mengikuti lagi karya demi karya. Dia hanya bergerak dari satu ruang ke ruang lainnya. Kadang dia berdiri di sebuah tangga, memandangi lantai di bawah maupun di atas museum itu. Sosoknya membuat S sudah seperti jadi bagian dari karya-karya surealisme dalam museum. Sementara D entah berada di mana. Aku sudah tidak bisa mengikutinya, dan memperlihatkan betapa aku tidak bisa mengendalikan cerpen. Aku hanya ingat bagaimana D membereskan ikatan pada rambutnya yang panjang, mengibaskan beberapa helai rambut yang jatuh di keningnya. Lalu tersenyum, seakan-akan selalu mengatakan, “Oke, semuanya beres.”

Aku masih sempat mengikuti A. Dia sedang terpaku di depan karya Mark Tobey (The Terrible One), yang dibuat tahun 1960. Lukisan hitam-putihnya itu menggambarkan sosok manusia dalam tekstur tembok retak. Seperti sarang dari semua luka yang terus memperoyeksikan topeng-topeng misteri. Lukisan yang membuat bayangan panjang ke Tembok Berlin pada masa Perang Dingin yang hampir meletuskan Perang Dunia Ketiga.

Cukup lama A berdiri di depan karya Mark Tobey itu. Setelah itu A langsung meninggalkan museum, tidak melihat koleksi-koleksi lainnya. Dia kembali ke kafe di halaman depan museum dan memesan kopi.

Setelah itu aku tidak bisa mengikuti ketiga tokoh itu, S dan D entah di mana. Cerpen ini akhirnya seperti sebuah cerita yang telah ditinggalkan oleh tokoh-tokohnya sendiri. Menjadi rumah kosong, yang semua pintunya dibiarkan terbuka.

Aku meninggalkan museum. Melewati Neues Museum yang sedang direnovasi. Berhenti di halaman Berlin Cathedral, mengambil beberapa potret dari bangunan gereja tua itu. Seperti seorang turis yang kehilangan alasan, kenapa harus memotret? Untuk apa potret-potret itu dibuat? Hanya untuk memotret semua yang telah berlalu? Potret dimana waktu dilepaskan dari gramatikanya.

Aku menunggu D, S dan A di halte. Gerimis telah berhenti. Tapi angin dingin Berlin masih berembus tajam. Menunggu sambil mengisap tembakau lintinganku. Akhirnya mereka bertiga datang sambil tersenyum-senyum ke arahku.

“Bagaimana cerpenmu?” tanya D.
“Tenggelam dalam lukisan Mark Tobey,” jawabku.

S dan A hanya tersenyum-senyum mendengarnya. Karya-karya mereka seperti memperdalam ruang dalam diriku.

Cahaya matahari sore menyerempet masuk melewati jendela bis. Membuat garis pada janggut S, membuat warna putihnya kemilau di antara janggut lainnya yang masih berwarna hitam legam, aku mengambil kamera, dan memotretnya.

Aku baru menyadari, bis itu berjalan tanpa supir.

Dan terus berjalan, hingga kini. (*)


 ---------------------------------------------


*Cerpen tersebut diambil dari buku kumpulan cerita pendek Afrizal Malna: Pagi yang Miring ke Kanan, terbitan Nyala, 2017. Ada 23 cerpen di dalam buku tersebut yang menyuguhkan cerita-cerita surealis yang kental. Afrisal perangkai kalimat yang mahir dan mampu menyihir pembacanya dalam sekali sentuhan. Penasaran? Silakan membeli bukunya.