Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memilih Cara Aman Menghadapi Hari Meugang Saat Pemberlakukan Pembatasan Sosial


Kurang lebih seminggu kedepan, kita akan memasuki bulan Ramadhan, bulan suci dimana seluruh ummat Islam di seluruh dunia diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.

Meski kehadiran bulan Ramadhan tahun ini bertepatan dengan datangnya ujian dari Allah SWT berupa pandemi covid-19, namun tidak mengurangi kehidmatan dan kesucian bulan mulia ini.

Bagi kalangan masyarakat di Aceh yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menyambut datangnya bulan Ramadhan adalah sesuatu yang sangat istimewa.

Di daerah berjuluk Serambi Mekkah ini ada tradisi turun temurun dalam menyambut datangnya bulan suci ini, yaitu tradisi Meugang atau Megang. Tradisi yang sudah berlangsung selama ber abad-abad sejak masa kesultanan Aceh ini, masuh terus bertahan sampai dengan saat ini.

Yang kemudian terasa unik, meugang identik dengan (keharusan) membeli, mengolah, hingga menyantap daging bersama keluarga, seolah-olah tanpa adanya daging meskipun hanya sedikit, meugang puasa terasa kurang afdol.

Sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging bagi masyarakat Aceh, satu atau dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan, masyarakat berbondong-bondong ke pasar untuk membeli daging atau setidaknya ayam.

Seperti sebuah kebanggaan bagi kepala keluarga jika mampu menyediakan daging bagi keluarganya disaat menyambut datangnya bulan puasa, seperti ada pertaruhan harga diri disana.

Tidak mengherankan jika kemudian di hari meugang itu, hampir di setiap rumah, tanpa membedakan status sosial, terhidang berbagai menu masakan khas Aceh seperti kari kameng atau kari kambing, sie reuboh atau daging rebus, hingga sie puteh atau daging putih.

Ada juga rendang, sop dan sate daging, yang seolah menjadi menu wajib setiap kali menyambut puasa. Tradisi ini juga berlaku pada saat menjelang berakhirnya puasa atau akan memasuki hari raya Idul Fitri.

Dalam kondisi normal, kerumunan orang yang 'berebut' membeli daging meugang, adalah sebuah pemandangan lumrah yang dapat kita jumpai di pasar-pasar atau di lapak penjualan daging dadakan. Seolah takut tidak kebagian, masyarakat rela berdesak-desakan untuk mendapatkan sekilo dua kllogram daging meski pada saat meugang tersebut harganya ikut melambung.

Yang jadi masalah sekarang, berkerumun atau bahkan berdesak-desakan di pasar untuk membeli daging meugang, dalam kondisi mewabahnya virus corona, tentu bukan sesuatu yang aman bahkan sangat beresiko.

Pada saat pemerintah sudah menghimbau untuk melakukan pembatasan sosial melalui social distancing dan physical distancing, maka berkerumun dalam jumlah besar, meskipun hanya sebentar, saat ini seakan menjadi tabu bahkan terlarang. Karena dengan adanya kerumunan orang yang entah berasal dari mana, tentu sangat rentan terjadi penyebaran atau penularan covid.

Namun meski dalam kondisi darurat seperti sekarang ini sekalipun, merubah tradisi yang sudah mendarah daging itu bukanlah hal yang mudah bahkan tidak mungkin. Demi sebuah 'harga diri', orang akan melakukan apa saja supaya tradisi yang seolah merupakan marwah itu harus tetap dilakukan.

Terus bagaimana caranya supaya tradisi tetap berjalan, tapi masyarakat juga tetap aman dan terlindungi?

Tentu bukan tradisi yang harus dilarang, tapi cara masyarakat mendapatkan daging dan kebutuhan lainnya yang harus dirubah dan disesuaikan dengan kondisi saat ini. Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel sebelumnya, sistem pasar digital bisa diterapkan dalam penjualan daging meugang kali ini.

Cara ini ini tentunya lebih aman karena pedagang dan pembeli tidak melakukan kontak fisik langsung, pembeli tidak perlu berkerumun dan berdesak-desakan di pasar atau di tempat penjualan daging dan ayam.

Caranya juga mudah, para pedagang daging baik pedagang lama maupun pedagang musiman dibantu oleh instansi terkait dan aparat desa/kecamatan tinggal menyebarkan nomor telepon atau hand phone yang dapat dihubungi oleh masyarakat.

Kemudian masyarakat yang membutuhkan tinggal memesan dengan sistem cash on delivery (COD) atau bayar ketika barang sampai di rumah. Dengan cara ini, masyarakat tetap dapat meperoleh daging untuk keperluan meugang tanpa harus meninggalkan rumah, dan tetap bisa menjalani social distancing dan physical distancing untuk mencegah penyebaran covid.

Cara kedua, seperti yang diterapkan oleh pemerintah kabupaten Aceh Barat yang menganjurkan penjualan daging meugang tidak dipusatkan di pasar, tapi disebar ke desa-desa. Dengan cara ini, penumpukan atau kerumunan orang bisa dihindari.

Meski begitu, pengawasan yang ketat harus tetap dilakukan oleh aparat desa/kampung pada saat penjualan daging meugang tersebut. Penerapan social distancing harus tetap dilakukan di lokasi penjualan daging dan pedagang wajib menyediakan sarana cuci tangan dan sabun di lokasi tersebut untuk menjaga kebersihan pembeli.

Dari kedua cara tersebut, tentunya sistem transaksi tidak langsung melalui sistem pasar digital jauh lebih aman, mudah dan praktis, karena tidak perlu menurunkan aparat untuk melakukan pengawasan.

Namun begitu, pemilihan cara aman tersebut tetap harus disesuaikan dengan kondisi kultural masyarakat setempat. Yang jelas semua pilihan harus tetap mengedepankan upaya pencegahan penyebaran covid ini, tentunya kita semua berharap dapat mejalankan ibadah puasa dalam keadaan sehat.


Author : Samsul Bahri