Indriana "Kalaulah Sukses Dapat Di Ukur"
Kalaulah sukses dapat diukur
Seperti
ulat jengkal, orang-orang menjengkali kehidupanku. Entah apa yang ada dipikiran
mereka. Sebenarnya apa sih ukuran kesuksesan itu? Apakah punya mobil mewah,
rumah megah dan harta yang berlimpah. Atau bahkan kesuksesan dapat diukur
dengan berapa kali pergi naik haji dan memiliki Jet pribadi. Terus saja aku
memikirkan alat ukur dari sebuah kesuksesan. Dimana aku mendapatkan alat
pengukur kesuksesan. Berangan seperti orang bodoh, berandai seperti orang tak
punya pendirian.
Banyak
sekali mata memandang. Sampai-sampai makan pun tak enak, membantu orangtua
mengurus ladang dibilang pengangguran, padahal aku hanya menunaikan kewajibanku
sebagai seorang anak dan seorang mahasiswa. Libur kuliah kembali ke kampong
halaman, untuk membantu keluarga. Tidak ada yang salah menurutku. Ada juga,
omongan miring yang terkadang meruntuhkan semangat belajar “ untuk apa kuliah,
menghabiskan uang orangtua, akhirnya jadi pengangguran, dan kembali lagi
menjadi ibu rumah tangga”. Ya memang benar, kodratnya seorang wanita itu
menjadi Ibu rumah tangga. Namun tak jarang juga yang menjadi wanita karir,
mengurus keluarga dan mempunyai kerjaan yang tetap.
Berbicara
panjang lebar kepada diri sendiri, hanya ada ulat yang mendengarkan menempel
dibajuku. Suaraku pun kalah dengan kicau burung ladang ini. Sambil menatap
langit biru, ditengah terik matahari dibawah pohon mangga. Awan putih pekat
begerak membentuk penggaris, mengacaukan mataku. Sangat halu, ternyata kepala
ini penuh dengan misteri alat ukur kesuksesan.
Pernah
sekali, aku mengikuti lomba karya tulis tingkat kabupaten. Para juri mengakui
kalau aku ini pintar. Namun mereka bilang, kalau aku kurang beruntung. Aku
berpikir, apakah pintar tidak menjamin kesuksesan?. Lalu bagaimana dengan orang
yang sangat beruntung?. Bukankah keberuntungan datang dibalik kerja keras,
usaha, serta kemampuan yang kita miliki, setelah itu baru dipanjatkan lewat
do’a?. bukan aku iri dengan mereka yang beruntung dari ku. Aku jadi lebih
tertantang untuk menjadi orang yang beruntung.
Aku
menghela nafas panjang, sambil minum segelas air mineral. Siang ini sungguh
panas, untuk melanjutkan pekerjaan ini aku berfikir beberapa kali. Keringat pun
sudah tidak hentinya mengalir. Tapi tetap saja aku harus melanjutkan pekerjaan
ini. Ku ambil parang untuk memotong rumput-rumput liar diladang.
Saat
dibangku sekolah, Wali kelasku berkata,sukses tidak hanya diukur dari harta
saja. Namun bagaimana diri dapat menggapai dunia dan akhirat secara seimbang.
Bak kata pepatah “Bekerjalah untuk
duniamu seakan-akan kau hidup selamanya” “Bekerjalah untuk akhiratmu
seakan-akan kau mati besok”. Terkadang sempat berpikir kalaulah aku
dilahirkan dari keluarga yang banyak harta, apakah kesuksesan mudah digapai
seperti halnya membalikkan telapak tangan. Ingin pergi ke mana pun, sekolah di
mana pun, kuliah di Universitas mana pun dicapai dengan sangat mudah.
Dulu
teman sebangku ku berkata, bahwa sukses bukan hanya berbintang dan berdasi.
Jadi petani juga bisa sukses! Ahh sukses bagaimana. Panas terik di ladang yang
luasini, memanen hasil tananam, terkadang untuk biaya keluarga sendiri saja
tidak cukup. Bagaimana mungkin menyewa
buruh tani untuk mengurus ladang. Apalagi para petani yang menjual hasil
panennya kepada toke dengan harga yang sangat murah. Tapi, kenapa para toke
dapat menjual harga panen tersebut dengan sangat mahal di pasaran. Dalam hal
ini petani yang sangat terjepit perekonomiannya. Ditambah lagi nilai Rupiah
yang semakin menurun dan kenaikan harga barang serta pangan. Huh.. sungguh
miris.
Sambil
mengusap keringat yang hampir masuk mata. Matahari sudah mulai kembali
keperaduannya, tidak terasa seharian di ladang, hingga suara jangkrik mengusik
dan menyuruh pulang.
Lambaiyan
tangan bapak dan ibu dari ujung, memanggilku. Aku pun dengan bersemngat
mengikuti langkah kaki Bapak dan Ibu. Tiba-tiba,
“
Bagaimana kuliahmu, Nak. Apakah ada kendala?. Tanya bapak sambil menoleh ke
arahku.
“
Kuliah ku lancar-lancar saja, Pak. Tidak ada kendala, hanya saja aku harus
lebih banyak beradaptasi, karena masih jadi mahasiswi semester pertama”. Ujar
ku pada Bapak.
Bapak
pun diam dan tersenyum.
“
Nak, menikahlah dengan orang kaya, agar dia bisa menjamin hidupmu sampai
sukses. Ibu dan Bapak mungkin sudah tidak sanggup lagi “. Ucapan Ibu membuat
pandanganku buyar.
“
Ibu doakan lah aku sampai aku bisa sukses, Bu. Aku yakin bahwa aku akan sukses
dan berhasil berkat doa Ibu dan Bapak, berkat usaha kalian Bu”. Jawabanku pada
ibu.
Ibu
pun tidak berkata apa-apa lagi. Aku tau bahwa mereka sudah lelah, mereka ingin
cepat pensiun dari kerjaannya. Mereka ingin menikmati masa tua yang Indah.
Namun aku juga tidak ingin menikah di usia muda. Aku ingin mencapai impianku
dan aku ingin mengukur sukses yang orang katakan padaku. Perjalanan panjang
yang keluarga kami lalui tidak lah mudah, kakak-kakak ku harus menikah diusia
muda, bahkan sampai tidak melanjutkan sekolah nya.
Keterbatasan
ekonomi penghambat kesuksesan, itu lah yang ada di pikiranku saat ini. Entah
iya atau tidak, intinya hal ini sedang aku alami sekarang.
Hidangan
makan malam telah siap. Seperti biasa dengan rebusan sayur sawi dicampur dengan
mie instan. Bapak selalu menambahkan dengan cabai rawit merah. Terlihat sangat
pedas hingga mata Bapak berkaca-kaca. Ibu dan aku tidak terbiasa makanan yang
pedas. Malam ini cukup sunyi tidak dibumbui dengan perbincangan hangat Bapak
dan Ibu. Sambil menikmati makanan yang sederhana namun sangat istimewa dilidah.
Tidak
terasa kemarin diladang. Dan hari ini sudah diladang lagi. Namun berbeda
kerjaan hari ini aku menanam cabai. Memasang mulsa dengan Bapak. Ibu membersihkan
rumput-rumput di atas galungan yang akan dipasang mulsa. Terdengar keras suara
sepeda motor Wak Moh, tetanggaku yang terkenal kaya raya dikampung kami.
“
Joel…! Anak perempuanmu bisa berkebun?” Teriak Wak Moh dari jalan bertanya
kepada Bapak.
“
Alhamdulillah, anak perempuanku yang bungsu ini bisa semua bang”. Jawab
Bapak pada Wak Moh.
“
Kalau bisa berkebun tak usah kuliah lah
Joel anakmu. Ngurus ladang aja toh, dari pada kuliah hanya menghabiskan uangmu
Joel-Joel haha”. Mendengar perkataan Wak
Moh, wajah Bapak langsung menunduk, dan pucat.
“
In Syaa Allah, nanti kalau sudah lulus kuliah bungsu ku ini, dia lah lagi yang
membiayai kami makan dan hidup. Dengan hasil pekerjaannya, nanti bakal sukses
anak bungsuku ini bang”. Jawab Bapak dengan tegas kepada Wak Moh. Wak Moh hanya
tersenyum dan menggeleng, kemudian pergi menuju ke ladangnya.
“
Jangan didengarkan apa kata Wak Moh tadi, Nak.” Kata Bapak menguatkanku,
padahal hati Bapak sangat tersinggung.
Aku
tersenyum dan mengangguk dengan semangat, agar Bapak tidak terlalu kepikiran
dengan kejadian baru saja. Namun tetap saja hatiku menggerutu, kalau Wak Joel
sudah sukses, kenapa tidak membantu kami yang belum sukses. Kalaulah tidak
membantu dengan materi, bantulah dengan motivasi dan perkataan yang baik.
Beberapa
mulsa telah terpasang dengan baik. Dan tidak terasa sudah waktunya makan siang.
Kami bertiga pun makan siang dibawah gubuk diladang. Makanan siang ini cukup
berbeda dari sebelumnya dengan rebus daun Ubi dan sambal terasi yang sangat
menyengat bau nya. Ditengah menikmati makan siang, hatiku pun terdorong ingin
bertanya pada Ibu dan Bapak tentang ukuran kesuksesan.
“
Bu, menurut Ibu, ukuran sukses itu seperti apa, Bu. Dalam kehidupan kita ini
setiap orang selalu mengukur kadar hidup yang kita jalani, Bu?”. Pertanyaanku
membungkam keheningan makan siang.
“
Nak, dengarlah. Setiap orang berbeda-beda dalam mendefinisikan kesuksesan.
Mereka yang berkata sukses hanya tenang bagaimana harta kita dapat terkumpul
dan dapat membeli apa pun yang diinginkan, adalah mereka yang suskes didunia,
Nak. Terkenal, Berjaya semua ada di genggaman mereka”.
Sambil
menghela nafas panjang, Ibu menyuap satu suapan nasi. Kemudian melanjutkan
perkataan Ibu tadi.
“
Bila mana keluarga kita harmonis, selalu bersyukur, selalu merasa cukup bahkan
tidak pernah terjadi masalah, hingga kita bahagia tinggal dirumah yang
sederhana itu. Apakah itu bukan suatu kesuksesan? Jelas itu adalah suatu
kesuksesan juga, Nak. Sukses dalam membangun keluarga, mendidik anak-anak”.
Aku
tidak melanjutkan makan, aku fokus pada setiap bait yang keluar dari mulut Ibu.
“
Mungkin Ibu pernah sekali-kali berpikir, sukses itu hanya tentang harta saja.
Namun itu merupakan kesalahan besar, Nak. Yang paling penting adalah, bagaimana
kita sukses menjadi seorang Hamba dari Tuhan kita”.
Aku
sedikit kurang paham apa yang dikatakan ibu.
“
Misalnya seperti apa, Bu?”. Tanya ku pada Ibu
“
Apa yang Tuhan perintahkan kita jalankan, dan apa yang menjadi larangan kita
tinggalkan. Berbuat baik kepada orang bukan semata untuk mencari pujian. Tapi
menunaikan kewajiban sebagai Makhluk
sosial kesesama manusia, sebagai Makhluk Tuhan yang Maha Esa, Nak”.
Aku
mulai mengerti, ku lihat Bapak pun sama, focus kepada Ibu.
“
Mungkin di dunia ini banyak sekali orang yang sukses, memiliki harta yang
banyak, dan sangat terkenal. Namun kita tidak tau, apakah mereka dapat
mensejahterakan hati mereka, apakah mereka bahagia dengan semua pencapaian yang
ada digenggaman mereka, Nak. Kalau pun mereka memiliki harta yang banyak, namun
tidak bahagia, sama saja bukan? Banyak dari kalangan orang terkenal yang
sampai-sampai menggunakan narkoba untuk menenangkan hati dan pikiran mereka.
Padahal seperti yang kita ketahui, mereka adalah orang-orang dari kalangan
pengusaha hebat”.
Ibu
diam, dan melanjutkan suap demi suap nasi yang telah tertuang dalam piring. Aku
pun menghabiskan makan ku yang tinggal satu suap lagi.
“Nak,
ingatlah. Di dunia ini, ukuran sukses setiap manusia itu berbeda-beda pula,
tergantung dari tujuan dan girah hidup mereka. Jika mereka memiliki tujuan
menjadi orang terkenal dan banyak harta, maka disitu lah letak ukuran
kesuksesan yang mereka capai dan mereka dapatkan. Dan satu hal yang perlu kita
pegang, jangan pernah mengikuti girah kehidupan orang lain, Nak. Kita punya
tujuan dan girah hidup sendiri, jangan hanya menjadi orang yang sukses, tapi
jadilah orang sukses yang bernilai, Nak. Jadilah orang yang dapat berbahagia
didunia, dan tentunya kebahagiaan itu pula yang akan membawa kita sampai
bahagia diakhirat nanti”.
Perkataan
Ibu membuatku sangat paham. Pertanyaan yang berputar dikepala ku telah terjawab
oleh Ibu. Kalaulah sukses dapat diukur, hanya pelakunya yang dapat mengukurnya.
Bapak dan Ibu tersenyum lebar kepadaku. Sambil berkata.
“
Ayoo kita selesaikan ladang kita”.
“
Iya Ibu”. Dengan senyuman kepada Ibu, aku sangat bahagia. Tidak ada lagi yang
dapat membuatku susah tidur dan tak enak makan. Aku bersyukur memiliki Bapak
dan Ibu yang luar biasa.
Judul: Kalaulah Sukses Dapat Di Ukur
Oleh: Isti Indriana safitri
Address: Atu Lintang, Merah Pupuk