Si Tukang Parkir Tua dan Peluitnya
Siang itu matahari sangat terik, aku masuk ke warung kopi tempat di mana aku sering menghabiskan waktu untuk online, dan saya mengambil tempat di sudut seperti biasanya. Dan seperti biasanya pula, tukang parkir yang kutaksir berumur 60-an dengan baju bertuliskan "Petugas Parkir" di belakang bajunya masuk ke warkop, dan berteriak seperti orang yang ditinggal pergi pengendara yang tak bayar uang parkir, "Bupati Aceh Tengah hampir dibunuh! Bupati Aceh Tengah hampir dibunuh!" teriak tukang parkir.
Orang-orang di dalam warkop langsung menoleh ke arah pria tua yang dipenuhi peluh di wajahnya itu. Aku yakin mereka terkejut, tak percaya, dan menganggap si pria sedang kambuh penyakit gilanya. Seorang di antara pengunjung warkop berseragam PNS mencoba bertanya, yang aku duga dia pun tak berniat sungguh-sungguh, "Siapa yang membunuhnya, pak Tua?" tanya pegawai PNS.
Si tukang parkir tua itu menoleh persisnya melotot ke arah datangnya suara, ke muka si PNS. Aku lihat si pria berbaju PNS itu agak kecut nyalinya saat di pelototi oleh tukang parkir, meski tak mencoba menundukkan wajah seperti orang kalah debat.
"Siapa pembunuhnya?" ulangnya lagi.
"Ah kau rupanya, orang gajian. Jangan membodohi dirimu dengan pertanyaan tak penting itu." Sahut si tukang parkir. Aku lihat beberapa pengunjung tak kuasa menyembunyikan tawanya.
"Hai, tukang parkir, beritahu kami siapa yang membunuh bupati kita?" Seseorang dari meja sudut ikut nimbrung, dan orang-orang kembali menoleh ke arahnya. "Ya, pak tua, kau harus beritahu kami semua, jika tidak kami akan membunuhmu juga, biar besok muncul di berita "tukang parkir dibunuh" seperti kabar yang kau bawa," timpal pria yang sehari-harinya bekerja di sebuah lembaga asuransi dan langganan di warkop itu.
Si tukang parkir pun mengalah. "Ah, masak kalian tidak tahu dengan dongeng-dongeng di yang ada. bupati itu hampir dibunuh oleh wakil dan proyeknya, perlahan-lahan." Dia pun berlalu dengan meniup peluit, seperti biasanya.
Orang-orang di dalam warkop langsung menoleh ke arah pria tua yang dipenuhi peluh di wajahnya itu. Aku yakin mereka terkejut, tak percaya, dan menganggap si pria sedang kambuh penyakit gilanya. Seorang di antara pengunjung warkop berseragam PNS mencoba bertanya, yang aku duga dia pun tak berniat sungguh-sungguh, "Siapa yang membunuhnya, pak Tua?" tanya pegawai PNS.
Si tukang parkir tua itu menoleh persisnya melotot ke arah datangnya suara, ke muka si PNS. Aku lihat si pria berbaju PNS itu agak kecut nyalinya saat di pelototi oleh tukang parkir, meski tak mencoba menundukkan wajah seperti orang kalah debat.
"Siapa pembunuhnya?" ulangnya lagi.
"Ah kau rupanya, orang gajian. Jangan membodohi dirimu dengan pertanyaan tak penting itu." Sahut si tukang parkir. Aku lihat beberapa pengunjung tak kuasa menyembunyikan tawanya.
"Hai, tukang parkir, beritahu kami siapa yang membunuh bupati kita?" Seseorang dari meja sudut ikut nimbrung, dan orang-orang kembali menoleh ke arahnya. "Ya, pak tua, kau harus beritahu kami semua, jika tidak kami akan membunuhmu juga, biar besok muncul di berita "tukang parkir dibunuh" seperti kabar yang kau bawa," timpal pria yang sehari-harinya bekerja di sebuah lembaga asuransi dan langganan di warkop itu.
Si tukang parkir pun mengalah. "Ah, masak kalian tidak tahu dengan dongeng-dongeng di yang ada. bupati itu hampir dibunuh oleh wakil dan proyeknya, perlahan-lahan." Dia pun berlalu dengan meniup peluit, seperti biasanya.
Judul: Si Tukang Parkir Tua Dan Peluitnya
Penulis: Yusuf Efendi
Address: Kota Dingin Takengon